Latar belakang pendidikan sebagai geologis tak menyurutkan hasrat Fajar Alam –founder grup sosial media, “Samarinda Bahari”– menulis sejarah Kota Samarinda.
SECARA akademik, Fajar adalah sarjana Teknik Geologi di Universitas Gadjah Mada –Yogyakarta. Dia juga merupakan sarjana Magister Ilmu Lingkungan di Universitas Mulawarman –Samarinda. Kini, pria berkacamata itu bahkan menjadi dosen di Program Studi Teknik Geologi di Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.
Fajar mengaku, ada ketertarikan khusus terhadap sejarah. Pun dengan koleganya, Muhammad Sarip, yang juga memiliki latar belakang akademik yang jauh dari dunia sejarah. “Tapi karena minat kami sama, ya sudah, kami menulis dan menggali sejarah dengan gaya kami masing-masing,” katanya.
Kendati begitu, latar belakang geologi diakui Fajar sangat membantu perspektifnya dalam menilik sejarah. Seperti diketahui, geologi merupakan kelompok ilmu yang membahas tentang sifat-sifat dan bahan-bahan yang membentuk bumi. Mulai dari struktur, proses-proses yang bekerja –baik di dalam maupun di atas permukaan bumi– kedudukannya di alam semesta, serta sejarah perkembangannya sejak bumi lahir di alam semesta hingga sekarang. Prinsip-prinsip dasar dalam geologi ini diakui Fajar cukup membantunya dalam merekonstruksi sebuah fragmen sejarah.
“Saya lebih suka dengan gaya penuturan langsung di lokasi, atau flashback ketika ketemu literasi dulu lalu saya kaitkan dengan kondisi sekarang,” ujarnya. “Contohnya kalau ada foto lama, saya bisa bandingkan dengan foto terkini. Kalau Sarip lebih ke behind the desk, riset di balik meja. Kecuali memang tidak ada data sama sekali baru kami sama-sama di lapangan,” timpal Fajar.
Berkat hasratnya dalam menulis sejarah, salah satu karya Fajar yang diingat publik adalah lahirnya buku “Sejarah Loa Kulu Kejayaan & Keruntuhan Kota Tambang Kolonial di Tanah Kutai 1888–1970“. Perihal buku ini, Fajar menjelaskan jika ihwal buku setebal 142 halaman itu bermula dari sang mbah.
“Saya punya paman dari bapak saya yang saya panggil mbah, yang sejak lahir kami tinggal bareng. Bapak saya sudah lama tinggal di sana sejak bujang. Beliau guru SMA 1 zaman itu tahun 70-an. Cuma beliau kelahiran Loa Kulu tahun 1943. Cerita beliaulah yang menjadi dasar pembuatan buku ini,” bebernya.
Kata Fajar, sang mbah masih mengingat fase di zaman Belanda beraktivitas di Loa Kulu pada era 1943 sampai 1947. Menurut Fajar, 1945 Indonesia memang telah memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Namun, sebut Fajar, kemerdekaan itu hanya berlaku di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Madura saja. Itu sebabnya, pada 1947, Negara Kincir Angin kembali lagi memasuki tanah Indonesia, terutama di wilayah Kesultanan Kutai.

“Mereka tetap melakukan aktivitas pertambangan ketika Jepang pergi. Jika dilihat sejarah, Belanda benar-benar pergi dari Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar. Kalimantan bukan merdeka di 45. Kalau tidak salah, sekitar 49, kalau saya tidak salah kutip, Kalimantan sudah menyatakan berkhidmat dengan republik. Tapi Kesultanan masih diberikan hak, seperti daerah istimewa. Makanya dulu namanya Daerah Istimewa Kutai. Mungkin ini jarang terdengar,” bebernya.
Fajar mengungkapkan, sebelum buku tersebut drilis, awalnya dia hanya sekadar membuat catatan singkat mengenai sejarah Kecamatan Loa Kulu. “Saya mencoba mengkoversi cerita mbah saya di Loa Kulu lewat tulisan. Ya saya buat saja, tapi tidak tahu mau diapain. Saya hanya tidak ingin memori beliau cuma sampai di saya. Setelah saya buat tulisannya, akhirnya saya unggah di internet,” akunya.
Tulisan itu memang tak sekadar sekonyong-konyong mewartakan sejarah. Fajar menyatakan, tulisan dalam buku tersebut memiliki latar belakang akademik lantaran keterlibatan Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengurus Daerah Kalimantan Timur dan mahasiswa dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam atau MIPA Unmul.
“Karena ketika ekspedisi ke sana bersama mereka. Dokumentasinya ada. Mbah saya di video, suaranya juga direkam, dan menceritakan apa saja yang terjadi di sana waktu itu. Ada pula cerita bagaimana masyarakat digaji per minggu, masuk jam berapa. Jadi seperti reportase,” akunya.
Kendati mendapat informasi dari sang mbah, Fajar mengatakan tetap melakukan validasi dengan mencari sumber lain. Hasilnya tak sia-sia. Fajar menemukan sumber kredibel di internet melalui hasil unggahan pustaka lama. Narasi dari daratan Eropa itu banyak mendokumentasikan wajah Kecamatan Loa Kulu di masa lalu.
“Termasuk saya menemukan catatan aktivitas pertambangan di Palaran di era itu, seperti berapa ton batubara yang diambil per tahunnya. Itu ada semua catatannya. Bagi saya literasi seperti ini seperti menemukan harta karun. Saya menemukan pilihan selain ke ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia, Red.) dan lain-lain untuk mendapatkan informasi berharga itu,” jelasnya.
DULU HANYA 3 KECAMATAN
Kota Samarinda –di usia ke 354 pada 2022– telah mengalami banyak perubahan. Hal ini diungkapkan Fajar saat menjelaskan Kota Tepian dari sudut pandang wilayah. “Kalau kita sebut wilayah administratif, Kota samarinda juga mengalami perubahan,” sebutnya.
Menurut Fajar, saking luasnya, pernah dalam suatu masa wilayah Kota Samarinda pernah melingkupi tiga wilayah yang kini masuk dalam administrasi Kabupaten Kutai Kartanegara. Diantaranya adalah Kecamatan Samboja, Kecamatan Sangasanga, hingga Kecamatan Loa Janan. “Itu bagian dari Samarinda dulu. Awalnya 3 kecamatan saja. Ulu, Ilir, dan Seberang. Intinya Kota Samarinda pernah ada di masa lebih luas dari sekarang,” ujarnya.
Protektorat wilayah Samarinda, lanjut Fajar, juga berbeda-beda. Dalam perkembangannya dulu, tentu harus merujuk kepada naskah-naskah. “Tapi kita harus mengakui bahwa pencatatan kejadian sebelum Republik Indonesia berdiri itu tidak terlalu bagus di wilayah Kalimantan Timur sebenarnya,” akunya.
Itu sebabnya, Fajar cukup menyayangkan bangunan-bangunan sejarah di Kota Samarinda kini banyak diabaikan. Padahal, terkait dengan hal itu, ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. “Sebelumnya sudah ada undang-undang di mana isi dan pasalnya lebih lugas dalam pemanfaatan cagar budaya. Sehingga kalau dulu hanya fungsi konservasi yang membuat itu tetap lestari, tapi sekarang bagaimana juga bisa bermanfaat bagi ekonomi masyarakat. Jadi maksudnya tidak hanya melindungi semata, tetapi juga mensejahterakan masyarakat sekitar sebagai lokasi kunjung,” paparnya.
Bagi Fajar, dari sekian banyak kecamatan di Samarinda, wilayah yang banyak teridentifikasi terkonservasi ada di sebelah selatan Sungai Mahakam, di daerah yang sekarang masuk Samarinda Seberang. “Di sana misalnya ada masjid besar, Masjid Shiratal Mustaqiem. Kalau dilihat, keberadaan masjid yang berukuran besar pasti untuk mengakomodir jumlah umat yang besar pula. Artinya, wilayah masjid di sana pasti sudah ramai sejak masa lampau. Ini juga termasuk jika kita melihat ukuran Masjid Raya Darussalam,” tukasnya. (fa)