Ironi, ini mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan kuliner Kalimantan. Sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, Kalimantan kurang banyak tereksplor dibanding pulau lainnya. Kekurangan eksplorasi ini mencakup pelbagai sektor, pariwisata, budaya. Bahkan yang paling universa; makanan.
SESUNGGUHNYA, Kalimantan tak ubahnya seperti pulau lainnya. Kalimantan menyimpan potensi kuliner yang luar biasa kaya. Tak dimungkiri, untuk bisa menonjol dan dikenal, setiap makanan memang harus punya ciri khasnya sendiri. Jika kuliner Jawa identik dengan cita rasa manis, kuliner Sunda identik dengan rasa pedas, bagaimana dengan Kalimantan?
“Kalimantan itu punya makanan yang khas dengan rasa gurih, asam dan pedas,” kata chef Meliana Christanty di Signatures Restaurant, Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat.
Meli, demikian sapaannya, meyakinkan bahwa cita rasa Kalimantan tidaklah terasa asing di lidah. Bahkan dia mengatakan, hampir mirip dengan makanan yang biasa disantap.
Bayangkan saja aneka makanannya dibuat dengan sayur mayur segar yang diambil dari tanah subur Kalimantan. Aneka seafood segar berkualitas ekspor yang ada di lautan luas Kalimantan. Semuanya diracik dengan bumbu khas Kalimantan dan diolah oleh tangan terampil ibu rumah tangga.
Hampir mirip tak berarti sama persis. Sekilas penampakannya sama dengan makanan lain. Namun ini tak seharusnya jadi alasan menyepelekan dan menyamaratakan makanannya.
“Setiap provinsi Kalimantan dan setiap suku punya jenis makanan yang berbeda-beda.” Perbedaan yang dimaksud Meli ini sama halnya seperti bedanya makanan di Jawa Tengah dengan Jawa Timur dan Jawa Barat.
MAKANAN YANG TAK POPULER
Meli sendiri bukanlah perempuan asli Kalimantan. Dia adalah perempuan keturunan Jawa namun sejak 1996, dia menetap di Kalimantan. Di situlah dia mulai beradaptasi dengan lingkungan yang asri dan tradisional. Dia pun belajar dan mulai mendalami cita rasa masakan Kalimantan bersama ibu rumah tangga di sana.
Cintanya pun mulai timbul. Dia menyayangkan jika makanan yang enak hanya diam dan bercokol di pulau itu sendiri, tak populer di seluruh Indonesia dan dunia.
Jika rasanya enak, bagaimana mungkin makanannya kurang populer. Meli sendiri mengatakan kalau masalah popularitas ini bukan berakar pada cita rasanya.
“Yang bikin kurang terkenal adalah, si pembuat masakan tradisional dari kampung ke kampung ini belum berani tampil,” kata Meli. “Mereka belum berpikir kalau makanan ini akan bisa jadi warisan kuliner untuk Indonesia dan dunia.”
Bukan hanya soal tak berani tampil, kurangnya perhatian dan dukungan pemerintah pun dinilai sangat kurang. Dia mengatakan, kendala lainnya yang dihadapi adalah soal presentasi makanannya. Makanan yang disajikan seringkali kurang menarik perhatian.
“Padahal sebenarnya, beberapa kali saya jadi private cook untuk pesta orang Indonesia dan juga pesta orang luar negeri, semuanya bisa menerima makanan ini. Mereka suka,” ucap dia.
Lalu mungkinkah juga masalah tak populernya kuliner Kalimantan juga disebabkan karena sulitnya mencari bumbu khas Kalimantan? Meli sebelumnya mengatakan, bahwa kuliner Kalimantan juga memiliki banyak pengaruh peranakan, baik dari Arab maupun Cina.
Beberapa makanan Kalimantan harus dibuat dengan bumbu yang hanya tumbuh di pulau itu, atau harus dibeli di pasar Kalimantan. Mungkinkan ini jadi penyebabnya? “Tidak juga, justru itu seninya. Di situlah letak nilai otentik dari makanan tersebut. Makanan Kalimantan itu anti-mainstream.”
BATAS TIPIS NILAI OTENTIK
Kabar menyedihkan dari kekayaan Kalimantan bukan hanya karena kemungkinan besar Anda tak bisa mencicip makanan tradisional Kalimantan. Namun, makanan ini juga terancam punah nilai otentiknya.
Meli bercerita, hutan-hutan di Kalimantan sekarang sedang terancam kelangsungannya, pembabatan hutan di mana-mana. Padahal, hutan-hutan inilah tempat tumbuhnya beragam jenis rempah bumbu dan bahan baku yang dipakai untuk membuat sajian khas tersebut.
“Ada jeruk kitkia, terung asam dan lainnya. Semua tumbuh hanya di hutan Kalimantan dan memberikan sensasi khas di masakannya.”
Mungkin saja bumbu-bumbu dan bahan baku ini bisa diganti dengan bumbu yang nyaris sama. Jeruk kitkia misalnya, jeruk ini merupakan sejenis jeruk nipis. Mungkin saja bisa diganti, tapi sudah tentu rasanya tak akan sama dan tak otentik lagi.
Sembari menyajikan beraneka ragam makanan Kalimantan di hadapan, Meli mengucapkan keinginan harapan dan keinginannya untuk melestarikan makanan Kuliner. “Semoga pembabatan hutan berhenti, dan makanan Kalimantan mendapatkan tempat di lidah serta berbagai tempat di ibu kota. Bukan cuma Soto Banjar saja yang terkenal, tapi juga makanan lainnya.” (*)